Senin, 11 April 2016

Prevalensi Stunting Di Indonesia Tahun 2013

Prevalensi Stunting Di Indonesia Tahun 2013

Di era globalisasi sekarang ini, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin berkembang pesat, dalam mengimbangi hal tersebut perlu adanya kajian-kajian yang membahas kemajuan IPTEK tersebut agar manusia dapat mengikuti perkembangannya baik dari aspek pengetahuan alam maupun terkait dengan pengetahuan sosial. Kajian ilmiah merupakan salah satu program pengkajian dan penelitian suatu kasus terbaru terkait Gizi/Kesehatan yang ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan publikasi ilmiah bidang Gizi di Indonesia yang selama ini masih tertinggal bila dibandingkan perkembangan Gizi di dunia.

Oleh karena itu kami selaku Bidang Keilmuan HIMA Gizi UHAMKA tertarik untuk membuat suatu kegiatan yang mengkaji berita/isu terkini terkait Gizi/Kesehatan.Selain itu, kami juga ingin melihat seberapa jauh kemampuan mahasiswa UHAMKA untuk membuat suatu produk yang dapat bermanfaat untuk masyarakat luas. Kajian ilmiah kali ini kami membahas tentang prevalensi stunting yang cukup tinggi di Indoneisa.

Stunting adalah keadaan yang menunjukan status gizi seorang anak dimana tinggi badan seorang anak lebih pendek dibandingkan standar anak seusianya. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2%. Angka ini memiliki sebaran yang tidak sama antar propinsi. Di beberapa propinsi angka anak yang mengalami stunting mencapai 50%. Angka tersebut terus bertambah mulai tahun 2010 sebesar 35,6%. Tingginya prevalensi anak stunting membuat Indonesia masuk dalam lima besar di dunia.

"1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Prevalensi anak stunting dari tahun ke tahun jumlahnya terus naik," ungkap Ibu Indah Yuliana kepada peserta kajian ilmiah, sabtu (26/3/2016).
Hasil kajian kelompok 1 yang dipaparkan oleh Faiz, di Indonesia kasus stunting masih ditemui diantaranya di wilayah Indonesia bagian Timur. Seperti di NTT kasus stunting lebih tinggi dibandingkan secara nasional. "Dari hasil riskesdas terbaru terbukti bahwa NTT lebih dari 50% anak menderita stunting," katanya.

"Anak pendek adalah salah satu gambaran kekurangan gizi kronis. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin." Tambah Ibu Indah Yuliana.

Menurutnya, stunting tidak hanya mengakibatkan tubuh anak yang pendek saja tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan anak saat dewasa menjadi tidak maksimal. Apabila anak stunting dapat bertahan, maka akan rentan terhadap berbagai penyakit seperti obesitas (stunted obesity) dan penyakit degeneratif yang ditimbulkannya saat dewasa. Berdasarkan factor penyebab masalah gizi tersebut, maka perlu perbaikan gizi yang dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif).

“Pada kenyataannya pemerintah telah melakukan upaya untuk menanggulangi angka stunting di Indonesia yang terus meningkat, yaitu dengan keikutsertaan dalam program global Scaling Up Nutrition (SUN) bentukan PBB untuk mempercepat penurunan prevalensi masalah kurang gizi, terutama Stunting di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam program tersebut banyak upaya yang mulai diterapkan kepada masyarakat seperti kegiatan spesifik umumnya penerapan ASI ekslusif, sanitasi lingkungan, dan pemberian makanan tambahan” Ujar Digahayu perwakilan kelompok 2.

Sedangkan menurut kelompok 3 kegiatan yang sensitive melibatkan sektor terkait seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar) dan lain sebagainya. “Pada kenyataannya memutus rantai kemiskinan sulit direalisasikan. Ada beberapa cara untuk meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja dengan diimbangi penggunaan uang yang terarah dan efisien. Cara lain yang dapat ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan dan kewirausahaan” tambah perwakilan dari kelompok 3.

Untuk mencegah anak stunting, lanjut ibu Indah mengungkapkan bahwa perlu meningkatkan asupan gizi sesuai kebutuhan pada ibu hamil. Pasalnya masa keemasan (1000 Hari Pertama Kehidupan) anak dimulai sejak dalam kandungan hingga anak usia dua tahun.

Selain itu perlu peningkatan pengetahuan keluarga terhadap pola asuh anak serta kesehatan dan gizi untuk mencegah kejadian stunting pada anak. Sebab kejadian stunting tidak hanya disebabkan karena kurangnya asupan gizi akibat kemiskinan tetapi juga adanya kesalahan pada pola asuh anak dalam keluarga.

"Tidak sedikit orang tua yang kurang memahami pola asuh yang benar sehingga memunculkan stunting. Contoh nyatanya seperti tidak mau memberikan ASI secara eksklusif dan cara pengasuhan anak misalnya dititipkan pada nenek atau pembantu tetapi kurang paham dengan pengasuhan yang benar dan pemenuhan gizi yang baik," pangkas Ibu Indah.

Peran keluarga juga sangat penting dalam mendukung ASI eksklusif, terutama sang ayah. Peran ayah pada umumnya yaitu memberikan dukungan dan semangat pada ibu untuk menyusui. Karena menyusui tidak hanya melelahkan secara fisik tetapi juga secara emosional.

Kesimpulan dari kajian ini adalah prevalensi stunting di Indoneisa pada tahun 2013 sebesar 37,2%.  Stunting tertinggi di Indonesia berada di daerah NTT sekitar 50% lebih tinggi dibanding angka nasional. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor yaitu kurangnya asupan zat gizi, minimnya ketersediaan pangan, minimnya sarana dan prasarana, minimnya pengetahuan tentang gizi  dan pola asuh. Anak yang mengalami stunting dapat menurunkan nilai IQ, mempengaruhi pertumbuhan anak saat dewasa menjadi tidak maksimal, perkembangan mental anak juga bisa terganggu. Oleh karena itu, kita para ahli gizi perlu melakukan intervensi untuk mengurangi angka prevalensi stunting di Indonesia, agar anak Indonesia terpenuhi zat gizinya, serta pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai dengan usianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar